(Sharing ini sudah saya tulis dulu ketika saya tiba di Taipe..namun kemudian lupa menyimpannya di file yang mana, sekarang baru ketemu...)
Dulu ketika saya masih berada di Novisiat tahun 1996 ada beberapa romo yang membagikan pengalamannya ikut dalam Chinese Exposure. Salah satunya adalah Rm. Eko Prasetyo, CM. Dia cerita banyak tentang China. Dia juga membagikan kertas pembatas buku. Dari cerita dan pengalaman Romo Eko tadi saya tertarik untuk bisa menjadi seorang misionaris di China. Ini sungguh menantang saya untuk pergi dari tanah air dan hidup di suatu negeri dengan bahasa dan budaya baru. Waktu itu saya sering menulis keinginan saya itu dalam buku harian yang masih saya simpan sampai sekarang. Buku itu sering saya baca lagi ketika semangat panggilanku melemah. Dari situ saya mendapat kekuatan. Saya ingin menepati janji pada diri saya yang pernah saya buat ketika saya berada di novisiat dulu.
Ketika saya mau tahbisan Diakon saya ditanya oleh Rm. Budi selaku provinsial selaku provinsial CM Indonesia. Kita-kira tugas apa yang saya mau. Saya langsung menjawab: ”saya ingin menjadi misionaris ke China” Dan setelah mendapat pertimbangan ternyata apa yang saya inginkan itu di setujui oleh Rm. Budi. Ini menjadi saya lebih bersemangat dalam menjalani panggilan sebagai calan imam misi. Walaupun dalam kenyataannya proses untuk menjadi imam ini sempat tertunda-tunda, kaul saya tertunda sampai dua kali dan tahbisan diakon saya juga tertunda. Namun saya masih punya suatu keyakinan, kalau Tuhan menghendaki saya menjadi seorang imam misionaris maka Dia akan mengerjakanNya tidak ada suatupun yang dapat menghalanginya. Kepercayaan ini membuat saya menjadi tenang dalam menjalani panggilan. Dan ketika ditahbiskan saya mengambil motto tahbisan “Jika Allah di pihak siapakah yang akan mlaan kita, Ia tidak menyayangkan AnakNya sendiri tetapi yang menyerahkanNya bagi kita semua, bagaimana mungkin dia tidak mengaruniakan segala sesuatu kepada kita bersama-sama dengan dia” (Rm 8: 31-32).
Namun dalam kenyataanya untuk menhidupi semangat itu tidaklah semudah yang dikatakan. Pertama-tama saya harus belajar bahasa mandarin, tidak ada pilihan lain saya harus mempelajari bahasa mandarin. Saya membuka buku pelajaran bahasa mandarin, saya hampir putus asa. Begitu susahnya bahasa ini. Tetapi aku coba-coba dan coba lagi. Dan ketika saya sedang menjalani masa diakonat di paroki kenjeran saya bertemu seorang ibu yang berasal dari Taiwan. Ketika selesai memimpin adorasi bagi kelompoknya, ibu ini menawari saya untuk belajar mandarin padanya. Tawaran ini langsung saya terima. Walaupun kenyataannya memang sulit mempelajari bahasa mandarin itu namun sedikit demi sedikit saya dapat maju.
Keputusan untuk mengirim saya menjadi seorang misionaris merupakan kabar gembira bagiku. Aku melihat bahwa ini semua bukan hanya rencana saya sendiri tatpi merupakan rencana Tuhan sendiri sehingga saya tidak perlu khawatir akan apa yang terjadi.
Setelah saya ditahbiskan saya mulai mengurus paspor dan visa. Proses pengurusan visa misionaris ternyata tidak gampang, harus bolak-balik ke sana dan ke sini. Tetapi semuanya bisa terselesaikan berkat orang-orang yang baik yang mau membantu saya. Dan akhirnya pun visa bisa selesai. Dan tiket pesawat pun aku pesan. Keberangkatan saya semakin jelas, ini berarti apa yang saya inginkan semakin dekat dan menjadi kenyataan. dalam hati saya juga ada pergolakan. Saya belum menguasai bahasa mandarin..”bagaimana di Imigrasi Taiwan, apa yang harus saya katakan bila ditanya dalam bahasa mandarin” Ada pengalaman menarik di pesawat ketika pramugari menawarkan makanan dalam bahasa mandarin. Saya tidak tahu harus jawab apa: jawab Tue-tue (betul-betul)...”Lho..makanan kok gak dikasih-kasih..apakah jawaban saya itu salah...orang-orang di depan dan belakang saya dikasih makan kok aku enggak dikasih makan. Akhirnya aku minta dalam bahasa Inggris.. “I need food” baru dikasih makan. Ternyata pramugari itu menanyakan “apakah kamu sama dengan teman sebelahmu puasa?” Teman di sebelah berbicara bahasa mandarin sehingga saya tidak tahu dan gak bisa kenalan.
Ketika saya tiba di bandara, Rm Dominic, CM. Sudah menunggu saya di bandara dan siap menyambut saya. Walaupun saya belum kenal namun saya disambut dengan sangat baik. Ini menghilangkan kekawatiran saya akan suatu tempat yang baru. Ternyata tempat yang aku pakai utuk sementara waktu adalah tempat yang ramai di persimpangan jalan. Di sini saya bertemu dengan romo-romo dari Amerika dan dari berbagai tempat lain misalnya Korea, Philipina dan Vietnam. Syukurlah di provonsialat ini ada juga Romo Vietnam yang juga barus belajar mandarin, sayangnya dia juga sulit berbahasa Inggris, Dia lebih fasih berbahasa perancis sedangkan saya hanya tahu sedikit sekali bahasa perancis. Dalam komunitas saya berbicara bahasa Inggris karena mereka juga berbahasa Inggris. Ibadat harian bersama setiap pagi dan sore dilakukan dalam bahasa Inggris. Kecuali misa harisn bersama dengan umat dilakukan dalam bahasa mandarin. Ketika saya konselebrasi bersama dengan para romo dalam misa harian, saya tidak bisa omong apa-apa karena buku yang dipakai dalam tulisan mandarin. Empat orang romo misa bersama dengan umat yang hanya berjumlah tidak lebih dari 15 orang.
Kehidupan hariaan dalam komunitas internasional memang sungguh menarik karena di sini kami dapat saling berbagi pengalaman,saling belajar mengenal keunikan masing-masing. Kami saling melengkapi dalam bahasa mandarin ketika sedang makan bersama, mencuci piring bersama dan dalam kesempatan-kesempatan lain.
Ini sungguh menjadi pengalaman yang baru bagi saya, saya bisa belajar banyak tentang segala sesuatu. Mulai cara makan sampai yang paling sulit yaitu bahasa Mandarin. Setelah makan saya sempatkan untuk jalan-jalan keliling melihat suasana di luar. Semuanya berbicara ramai tetapi saya tidak tahu apa yang mereka katakan. Saat ini pun kalau mau beli sesuatu harus ajak teman. Atau cara yang palaing gampang adalah ke supermarket, ambil barang,serahkan pada kasir lalu bayar. Tidak perlu terlalu banyak omong.
REFLEKSI:
Sampai sekarang saya masih tetap yakin bahwa bila Tuhan menghendaki maka segala sesuatu bisa diatasi. Bahasa yang sama sekali berbeda bukanlah suatu halangan untuk suatu karya. Di provinsi taiwan ada imam dari berbagai negara. Saya yakin mereka juga mengalami seperti yang saya alami ini menjadi orang “bisu, tuli”dan buta huruf. Sekarang mereka bisa hidup dan berkarya dengan bahasa baru. Tanpa suatu halangan apa-apa. Akan bisa diatasi karena karya ini bukan melulu karya manusiawi belaka. Penerimaan konfrater di Tawan juga menjadi sebuah kekuatan yang mendorongku untuk terus belajar bahasa. Walaupun kami tidak saling kenal sebelumnya namun ketika kami bertemu sepertinya sudah menjadi satu saudara dalam satu keluarga. Akhirnya saya katakan Tuhan itu sungguh baik. Pengetahuan saja tidak cukup untuk menjawab kebaikan Tuhan ini. Kita membutuhkan kemauan yang kuat.
Dulu ketika saya masih berada di Novisiat tahun 1996 ada beberapa romo yang membagikan pengalamannya ikut dalam Chinese Exposure. Salah satunya adalah Rm. Eko Prasetyo, CM. Dia cerita banyak tentang China. Dia juga membagikan kertas pembatas buku. Dari cerita dan pengalaman Romo Eko tadi saya tertarik untuk bisa menjadi seorang misionaris di China. Ini sungguh menantang saya untuk pergi dari tanah air dan hidup di suatu negeri dengan bahasa dan budaya baru. Waktu itu saya sering menulis keinginan saya itu dalam buku harian yang masih saya simpan sampai sekarang. Buku itu sering saya baca lagi ketika semangat panggilanku melemah. Dari situ saya mendapat kekuatan. Saya ingin menepati janji pada diri saya yang pernah saya buat ketika saya berada di novisiat dulu.
Ketika saya mau tahbisan Diakon saya ditanya oleh Rm. Budi selaku provinsial selaku provinsial CM Indonesia. Kita-kira tugas apa yang saya mau. Saya langsung menjawab: ”saya ingin menjadi misionaris ke China” Dan setelah mendapat pertimbangan ternyata apa yang saya inginkan itu di setujui oleh Rm. Budi. Ini menjadi saya lebih bersemangat dalam menjalani panggilan sebagai calan imam misi. Walaupun dalam kenyataannya proses untuk menjadi imam ini sempat tertunda-tunda, kaul saya tertunda sampai dua kali dan tahbisan diakon saya juga tertunda. Namun saya masih punya suatu keyakinan, kalau Tuhan menghendaki saya menjadi seorang imam misionaris maka Dia akan mengerjakanNya tidak ada suatupun yang dapat menghalanginya. Kepercayaan ini membuat saya menjadi tenang dalam menjalani panggilan. Dan ketika ditahbiskan saya mengambil motto tahbisan “Jika Allah di pihak siapakah yang akan mlaan kita, Ia tidak menyayangkan AnakNya sendiri tetapi yang menyerahkanNya bagi kita semua, bagaimana mungkin dia tidak mengaruniakan segala sesuatu kepada kita bersama-sama dengan dia” (Rm 8: 31-32).
Namun dalam kenyataanya untuk menhidupi semangat itu tidaklah semudah yang dikatakan. Pertama-tama saya harus belajar bahasa mandarin, tidak ada pilihan lain saya harus mempelajari bahasa mandarin. Saya membuka buku pelajaran bahasa mandarin, saya hampir putus asa. Begitu susahnya bahasa ini. Tetapi aku coba-coba dan coba lagi. Dan ketika saya sedang menjalani masa diakonat di paroki kenjeran saya bertemu seorang ibu yang berasal dari Taiwan. Ketika selesai memimpin adorasi bagi kelompoknya, ibu ini menawari saya untuk belajar mandarin padanya. Tawaran ini langsung saya terima. Walaupun kenyataannya memang sulit mempelajari bahasa mandarin itu namun sedikit demi sedikit saya dapat maju.
Keputusan untuk mengirim saya menjadi seorang misionaris merupakan kabar gembira bagiku. Aku melihat bahwa ini semua bukan hanya rencana saya sendiri tatpi merupakan rencana Tuhan sendiri sehingga saya tidak perlu khawatir akan apa yang terjadi.
Setelah saya ditahbiskan saya mulai mengurus paspor dan visa. Proses pengurusan visa misionaris ternyata tidak gampang, harus bolak-balik ke sana dan ke sini. Tetapi semuanya bisa terselesaikan berkat orang-orang yang baik yang mau membantu saya. Dan akhirnya pun visa bisa selesai. Dan tiket pesawat pun aku pesan. Keberangkatan saya semakin jelas, ini berarti apa yang saya inginkan semakin dekat dan menjadi kenyataan. dalam hati saya juga ada pergolakan. Saya belum menguasai bahasa mandarin..”bagaimana di Imigrasi Taiwan, apa yang harus saya katakan bila ditanya dalam bahasa mandarin” Ada pengalaman menarik di pesawat ketika pramugari menawarkan makanan dalam bahasa mandarin. Saya tidak tahu harus jawab apa: jawab Tue-tue (betul-betul)...”Lho..makanan kok gak dikasih-kasih..apakah jawaban saya itu salah...orang-orang di depan dan belakang saya dikasih makan kok aku enggak dikasih makan. Akhirnya aku minta dalam bahasa Inggris.. “I need food” baru dikasih makan. Ternyata pramugari itu menanyakan “apakah kamu sama dengan teman sebelahmu puasa?” Teman di sebelah berbicara bahasa mandarin sehingga saya tidak tahu dan gak bisa kenalan.
Ketika saya tiba di bandara, Rm Dominic, CM. Sudah menunggu saya di bandara dan siap menyambut saya. Walaupun saya belum kenal namun saya disambut dengan sangat baik. Ini menghilangkan kekawatiran saya akan suatu tempat yang baru. Ternyata tempat yang aku pakai utuk sementara waktu adalah tempat yang ramai di persimpangan jalan. Di sini saya bertemu dengan romo-romo dari Amerika dan dari berbagai tempat lain misalnya Korea, Philipina dan Vietnam. Syukurlah di provonsialat ini ada juga Romo Vietnam yang juga barus belajar mandarin, sayangnya dia juga sulit berbahasa Inggris, Dia lebih fasih berbahasa perancis sedangkan saya hanya tahu sedikit sekali bahasa perancis. Dalam komunitas saya berbicara bahasa Inggris karena mereka juga berbahasa Inggris. Ibadat harian bersama setiap pagi dan sore dilakukan dalam bahasa Inggris. Kecuali misa harisn bersama dengan umat dilakukan dalam bahasa mandarin. Ketika saya konselebrasi bersama dengan para romo dalam misa harian, saya tidak bisa omong apa-apa karena buku yang dipakai dalam tulisan mandarin. Empat orang romo misa bersama dengan umat yang hanya berjumlah tidak lebih dari 15 orang.
Kehidupan hariaan dalam komunitas internasional memang sungguh menarik karena di sini kami dapat saling berbagi pengalaman,saling belajar mengenal keunikan masing-masing. Kami saling melengkapi dalam bahasa mandarin ketika sedang makan bersama, mencuci piring bersama dan dalam kesempatan-kesempatan lain.
Ini sungguh menjadi pengalaman yang baru bagi saya, saya bisa belajar banyak tentang segala sesuatu. Mulai cara makan sampai yang paling sulit yaitu bahasa Mandarin. Setelah makan saya sempatkan untuk jalan-jalan keliling melihat suasana di luar. Semuanya berbicara ramai tetapi saya tidak tahu apa yang mereka katakan. Saat ini pun kalau mau beli sesuatu harus ajak teman. Atau cara yang palaing gampang adalah ke supermarket, ambil barang,serahkan pada kasir lalu bayar. Tidak perlu terlalu banyak omong.
REFLEKSI:
Sampai sekarang saya masih tetap yakin bahwa bila Tuhan menghendaki maka segala sesuatu bisa diatasi. Bahasa yang sama sekali berbeda bukanlah suatu halangan untuk suatu karya. Di provinsi taiwan ada imam dari berbagai negara. Saya yakin mereka juga mengalami seperti yang saya alami ini menjadi orang “bisu, tuli”dan buta huruf. Sekarang mereka bisa hidup dan berkarya dengan bahasa baru. Tanpa suatu halangan apa-apa. Akan bisa diatasi karena karya ini bukan melulu karya manusiawi belaka. Penerimaan konfrater di Tawan juga menjadi sebuah kekuatan yang mendorongku untuk terus belajar bahasa. Walaupun kami tidak saling kenal sebelumnya namun ketika kami bertemu sepertinya sudah menjadi satu saudara dalam satu keluarga. Akhirnya saya katakan Tuhan itu sungguh baik. Pengetahuan saja tidak cukup untuk menjawab kebaikan Tuhan ini. Kita membutuhkan kemauan yang kuat.