Hari ini perayaan misa diperuntukkan bagi peringatan kemerdekaan Taiwan yang ke 97. Aku belum tahu bagaimana cerita dari kemerdekaan Taiwan ini karena buku-buku informasi tentang sejarah Taiwan ditulis dalam bahasa mandarin. Juga pembicaraan-pembicaraan di televisi semua dalam bahasa mandarin. Nanti akan saya tanyakan pada orang sini bagaimana proses kemerdekaan Taiwan. Tentu mereka akan senang untuk menceritakannya.
Hari ini hasula yang dipakai berwarna merah. Merah bagi orang Taiwan berarti kegembiraan dan keceriaan. Ini berbeda dengan warna dalam liturgi gereja, merah adalah lambang kemartiran, pengorbanan. Gereja menyesuaikan kebudayaan setempat.
Walaupun sekarang ini aku hanya punya waktu sedikit untuk menulis namun aku coba untuk bercerita tentang sedikit pengalamanku di hari ini. Hari ini adalah hari minggu. Di hari inilah aku bisa berjumpa dengan umat. Mereka datang ke Gereja untuk merayakan misa, juga bertemu dengan umat yang lain. Inilah saat untuk menyapa mereka. Namun aku juga tidak mereasa bebas karena akau punya tanggung jawab untuk mempersiapkan ujian mandarin besok. Kali ini pun ujian enggak segampang pada semester lalu karena semua ditulis dalam bahasa mandarin. Dan ini enggak gampang untuk mengartikannya. Guru juga memberi pengantar dalam bahasa mandarin.
Hari minggu adalah hari Tuhan, di mana umat datang ke gereja untuk bersyukur atas hidup yang diberikan selama satu minggu dan mohon rahmat bagi minggu yang akan datang. Tadi malam gereja penuh, dan umat pun bernyanyi dengan semarak. Mereka tidak malu-malu untuk membuka mulutnya dan menyanyi. Inilah kekuatan yang ada di gereja ini. Kekompakan dalam bernyanyi, juga persaudaraan. Setelah mereka mereyakan misa mereka tidak langsung pulang melainkan masih ngobrol-ngobrol di depan gereja. Menyapa umat yang lain bercerita tentang pengalamannya selama satu minggu. Dan inilah saat menyapa umat. Kekuatan persaudaran menjadikan gereja ini berbeda dengan gereja lain di tempat lain. Umat suka datang ke gereja ini karena merasa sebagai satu keluarga. Dan benar umat yang datang ke Gereja ini merasakan sebagai satu keluarga. Inilah kekuatan yang harus dikembangkan dari paroki ini.
Aku ingat cerita tentang petani yang sedang membersihkan ilalang di ladangnya. Dia cukup unik dalam membersihkan ilalang. Dia tidak mencabuti ilalang itu, karena dia tahu bahwa ilalang itu ketika dicabuti akan tumbuh terus dan tidak kan mati. Juga tidak membakarnya karena itu akan sia-sia saja.Namun membiarkannya tumbuh bersama. Tetapi dia menanam pohon karet yang cukup rapat. Ketika tanaman karet itu tumbuh dan berdaun lebat seluruh daerah itu tertutupi oleh rindangnya pohon-pohon karet. Dan ilalang pun tidak ada lagi. Dia tida bisa hidup karena tidak mendapatkan sinar matahari. Itulah cerita keberhasilan dari seorang petani dlam membersihkan ilalang yang mengganggu ladangnya.
Cerita ini mau mengatakan bahwa untuk mengembangkan diri kita perlu mencari hal-hal posotif yang akan memacu seseorang untuk berkembang. Jangan terpusat pada kelemahan diri namun pusatkan pada kemampuan diri untuk maju. Dengan semakin tumbuhnya hal-hal positif akan menghapus hal-hal negatif yang ada dalam diri kita. Ini saya kira juga berlaku dalam mengembangkan umat. Di paroki ini ada sikap kekeluargaan dan kekompakan..ini akan baik sekali untuk mengembangkan umat. Sehabis misa aku menyempatkan diri untuk berada di depan gereja menyapa umat yang keluar dari Gereja. Meskipun hanya sebentar namun ini akan memberikan kesan lain. Itu yang bisa saya lakukan..ngomong banyak saya juga enggak tahu bagaimana harus ngomong. Tapi semoga sapaan yang saya berikan akan menjadi rahmat bagi mereka. Ini juga termasuk strategi dalam berpastoral dan mengembangkan sikap kekeluargan. Umat tidak merasa asing di gereja melainkan menjadi kerasan di gereja. Dan mereka pun akan rindu untuk datang ke gereja berjumpa dengan umat yang lain..Dan ini menjadi tanda berkat dari Tuhan sendiri.
Hari ini hasula yang dipakai berwarna merah. Merah bagi orang Taiwan berarti kegembiraan dan keceriaan. Ini berbeda dengan warna dalam liturgi gereja, merah adalah lambang kemartiran, pengorbanan. Gereja menyesuaikan kebudayaan setempat.
Walaupun sekarang ini aku hanya punya waktu sedikit untuk menulis namun aku coba untuk bercerita tentang sedikit pengalamanku di hari ini. Hari ini adalah hari minggu. Di hari inilah aku bisa berjumpa dengan umat. Mereka datang ke Gereja untuk merayakan misa, juga bertemu dengan umat yang lain. Inilah saat untuk menyapa mereka. Namun aku juga tidak mereasa bebas karena akau punya tanggung jawab untuk mempersiapkan ujian mandarin besok. Kali ini pun ujian enggak segampang pada semester lalu karena semua ditulis dalam bahasa mandarin. Dan ini enggak gampang untuk mengartikannya. Guru juga memberi pengantar dalam bahasa mandarin.
Hari minggu adalah hari Tuhan, di mana umat datang ke gereja untuk bersyukur atas hidup yang diberikan selama satu minggu dan mohon rahmat bagi minggu yang akan datang. Tadi malam gereja penuh, dan umat pun bernyanyi dengan semarak. Mereka tidak malu-malu untuk membuka mulutnya dan menyanyi. Inilah kekuatan yang ada di gereja ini. Kekompakan dalam bernyanyi, juga persaudaraan. Setelah mereka mereyakan misa mereka tidak langsung pulang melainkan masih ngobrol-ngobrol di depan gereja. Menyapa umat yang lain bercerita tentang pengalamannya selama satu minggu. Dan inilah saat menyapa umat. Kekuatan persaudaran menjadikan gereja ini berbeda dengan gereja lain di tempat lain. Umat suka datang ke gereja ini karena merasa sebagai satu keluarga. Dan benar umat yang datang ke Gereja ini merasakan sebagai satu keluarga. Inilah kekuatan yang harus dikembangkan dari paroki ini.
Aku ingat cerita tentang petani yang sedang membersihkan ilalang di ladangnya. Dia cukup unik dalam membersihkan ilalang. Dia tidak mencabuti ilalang itu, karena dia tahu bahwa ilalang itu ketika dicabuti akan tumbuh terus dan tidak kan mati. Juga tidak membakarnya karena itu akan sia-sia saja.Namun membiarkannya tumbuh bersama. Tetapi dia menanam pohon karet yang cukup rapat. Ketika tanaman karet itu tumbuh dan berdaun lebat seluruh daerah itu tertutupi oleh rindangnya pohon-pohon karet. Dan ilalang pun tidak ada lagi. Dia tida bisa hidup karena tidak mendapatkan sinar matahari. Itulah cerita keberhasilan dari seorang petani dlam membersihkan ilalang yang mengganggu ladangnya.
Cerita ini mau mengatakan bahwa untuk mengembangkan diri kita perlu mencari hal-hal posotif yang akan memacu seseorang untuk berkembang. Jangan terpusat pada kelemahan diri namun pusatkan pada kemampuan diri untuk maju. Dengan semakin tumbuhnya hal-hal positif akan menghapus hal-hal negatif yang ada dalam diri kita. Ini saya kira juga berlaku dalam mengembangkan umat. Di paroki ini ada sikap kekeluargaan dan kekompakan..ini akan baik sekali untuk mengembangkan umat. Sehabis misa aku menyempatkan diri untuk berada di depan gereja menyapa umat yang keluar dari Gereja. Meskipun hanya sebentar namun ini akan memberikan kesan lain. Itu yang bisa saya lakukan..ngomong banyak saya juga enggak tahu bagaimana harus ngomong. Tapi semoga sapaan yang saya berikan akan menjadi rahmat bagi mereka. Ini juga termasuk strategi dalam berpastoral dan mengembangkan sikap kekeluargan. Umat tidak merasa asing di gereja melainkan menjadi kerasan di gereja. Dan mereka pun akan rindu untuk datang ke gereja berjumpa dengan umat yang lain..Dan ini menjadi tanda berkat dari Tuhan sendiri.